Rabu, 09 Mei 2012

Perbincangan di Lobi #31harimenulis


Tugas DDP “Fiksi”                                                                   

Perbincangan di Lobi

Ketukan suara high heels terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Lama-lama ketukan langkah itu semakin terdengar jelas dan dekat. Tak lama pintu otomatis terbuka dengan sendirinya. Ia berjalan kaki memasuki lobi dengan sikap tenang. Sikapnya memang tenang, wajahnya pun terlihat tenang, namun di balik ketenangannya aku tahu ia sedang menyimpan kegusaran yang luar biasa. Andai ia melepaskan kacamata hitamnya, pasti terlihat jelas kelopak mata yang membengkak. Ya, aku sangat paham bahwa ia telah menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menghapus air matanya yang mengalir tak terbendung pada malam-malam sebelumnya.

Sejak awal masuk lobi, ia terlihat seperti mencari-cari seseorang. Saat ia menatapku sekilas, matanya masih saja beralih mengitari pandangan ke seluruh sudut lobi. Tak lama ia menghentikan pencariannya secara mendadak dan melihat lagi ke arahku, menurunkan kacamatanya setengah sembari menyipitkan mata. Mukanya terlihat terkejut namun masih tidak yakin akan siapa yang dilihatnya. Kulihat ia menarik napas sekali dan dengan agak ragu ia berjalan menghampiriku. “Maaf, Amanda?”, tanyanya. Aku tersenyum dan menjawab, “Tentu saja, lama tak bertemu, kau lupa dengan tahi lalat di bawah hidungku?”. Tiba-tiba, dengan muka sumringah ia langsung memelukku dengan erat sekali sampai sesak nafasku. Setelah aku agak terbatuk-batuk, ia baru melepaskan pelukannya sembari meminta maaf karena telah membuatku sesak. Aku hanya tersenyum menandakan bahwa aku tidak mempermasalahkannya.

Setelah kusuruh ia duduk bersamaku di salah satu sudut lobi, ia langsung menceritakan banyak hal kepadaku. Dari dulu aku suka caranya bercerita yang sangat menggebu-gebu dengan kemasan kata-kata yang menarik dan kocak. Tak salah jika ia menjadi pembawa acara salah satu acara gosip pada stasiun televisi swasta. Kesuksesannya inilah yang membuatnya sibuk dan tak sempat bertemu dengan sahabat-sahabatnya, salah satunya aku. Ia masih saja terus bercerita sampai tiba-tiba ia menepuk jidatnya dan mengatakan bahwa ia ada janji dengan seseorang. Ia ada janji dengan seorang wartawan. Kutanya saja siapa nama wartawan itu dan dengan segera ia mencari-cari di telepon genggamnya. “Emm namanya Amanda Juana.”, jawabnya. Aku diam menunggu respon darinya. Tak lama bola matanya membesar karena terkejut dan meminta maaf karena tidak sadar bahwa wartawan yang dimaksud adalah aku, ia mengira namanya hanya mirip denganku. Raut wajahnya berubah menjadi tak seceria sebelumnya. Inilah raut wajah asli yang sedari tadi ia tutupi. “Kau sudah tahu semuanya?”. “Belum..”, jawabku, “inilah mengapa aku datang kemari untuk menemuimu. Maaf Ris, jika bukan karena pekerjaan aku juga tidak tega menanyakannya padamu.”. Aku sungguh merasa tak enak hati, namun ia tersenyum maklum.

Hening, aku merasa tak enak hati untuk memulai percakapan, tepatnya memulai wawancara. Ia juga masih terdiam mengumpulkan energi untuk menjawab pertanyaan dariku. Aku masih saja merasa tak enak dan ia pun membuka pembicaraan. “Sudah, santai saja. Anggap saja ini hanya sekadar curhatan sebagai sahabat, tanyakan saja apa yang ingin kau ketahui.”, ia berusaha tersenyum. Berbeda ceritanya jika saat ini ia dan aku sedang saling curhat di dalam sebuah kamar sambil mengunyah makanan ringan seperti zaman SMA dulu. Curhatan zaman SMA diceritakan untuk saling dijaga rahasianya. Sedangkan ini, aku harus memuatnya ke dalam sebuah surat kabar sebagai topik utama secara profesional. Isi surat kabar tidak akan menjadi rahasia pribadi namun menjadi rahasia umum yang dapat mencoreng nama orang yang dimuat di dalamnya.

Dengan memaksakan diri dan setelah meyakinkan diri bahwa aku harus menerima segala resiko yang ada saat menjadi wartawan, aku pun membuka pertanyaan pertama dengan berjanji bahwa aku tidak akan memaksakan pertanyaan yang terlalu pribadi. Kita sepakat dan ia menceritakan segalanya mengapa ia tak sengaja terkena pelecehan seksual sampai membuatnya berbadan dua. Tak terasa di tengah wawancara, air mataku mengalir mendengar ceritanya, Aristya Dewi.

NB: harap maklum ya, masih latian nulis, hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar